Title : My Destiny
Author : Farah
Casts :
- Justin D. Bieber sebagai Justin
- Weronika J. Mamot sebagai Destiny
Other Casts :
- Lili Simons sebagai kak Jeanny, kakak dari Justin
- Bridgit Mendler sebagai Natalie
- Nicole Sullivan sebagai Ibu dari Destiny
- Daniel Fathers sebagai Ayah dari Destiny
- Lily Birdsell sebagai Ibu dari Justin dan kak Jeanny
Type : Oneshot
Genre : Romance, School life, Comedy.
Takdir.
Arti dari sebuah nama seorang gadis blasteran Poland-Indonesia yang masih duduk dibangku sekolah menengah. Angin kencang menerpa wajahnya saat ia mengayunkan tubuhnya dikursi ayunan yang terletak dihalaman depan rumahnya. Ia tampak begitu menikmati permainan itu. Ya, itu hobinya dan juga sahabatnya yang sedang duduk bersandar dibawah pohon sambil memetik gitar dan bernyanyi bersama. Mereka selalu melakukan itu setiap hari, apalagi saat sore menjelang malam, itu adalah kesukaan mereka! Duduk diatas ayunan menunggu matahari terbenam sambil menyanyikan beberapa lagu.
Tiba-tiba tangan lentik itu berhenti bermain, kursi ayunan perlahan berhenti berayun, lekat-lekat mereka menatap matahari yang mulai menghilang seperti ditelan bumi, inilah momen-momen yang sejak tadi mereka tunggu.“Aku nggak pernah bosen ngeliat matahari terbenam dari dulu sampai sekarang.”
Justin sedikit melirik, lalu tersenyum simpul mendengar perkataan yang terlontar dari sahabat kecilnya itu. Walaupun sudah beratus kali Destiny berkata seperti itu, ia tak akan pernah letih mendengarnya, “Aku juga.” ujarnya setelah itu.
Destiny mendesah penuh harap, “Apa lagi kalau kita punya pacar, pasti mengasyikan menunggu matahari terbenam bersama-sama.Iya ‘kan, Justin?” tanyanya polos sambil menoleh kepada Justin yang sedang menatap bintang-bintang dilangit yang baru saja bermunculan. Ekspresi damai pria itu kini berubah seketika, “Hah?” pekiknya. Justin merasakan ada hal aneh yang merasuki dirinya saat Destiny mengucapkan kata-kata asing itu.Seperti baru saja menemui kosakata baru.
Gadis bermata kecoklatan itu mengkerutkan keningnya menatap ekspresi Justin yang tidak biasa itu, “Kamu kenapa?” tanyanya dengan nada datar.
“Nggak..Tapi menurutku, kita belum pantas ngomongin tentang cinta-cintaan.Lagipula, itu nggak seindah yang kamu bayangin, tau.Punya pacar itu ngerepotin!” ucapnya dengan nada sok tahu.
Destiny mendengus kesal, “Huh, dasar! Kamu aja belum pernah pacaran, kan?”
“Belum, tapi aku sering nonton mereka yang berpacaran di sinetron-sinetron.”Jawabnya tak mau kalah.
Destiny menghembuskan nafas dengan hati-hati, “Tapi aku yakin, kamu bakalan ngerasain apa itu cinta.”
“Terserah, deh.Ayo nyanyi!”
Justin beranjak dari kursi ayunannya dan meraih benda usang yang ia sandarkan dibawah pohon. Jari-jarinya memetik senar gitar, keluarlah nada-nada indah saat itu.Destiny membuka mulutnya dan bernyanyi mengikuti alunan musik.
You're not alone
Together we stand
I'll be by your side, you know I'll take your hand
When it gets cold
And it feels like the end
There's no place to go
You know I won't give in
No I won't give in
Keep holding on
'Cause you know we'll make it through, we'll make it through
Just stay strong
'Cause you know I'm here for you, I'm here for you
There's nothing you could say
Nothing you could do
There's no other way when it comes to the truth
So keep holding on
'Cause you know we'll make it through, we'll make it through
♡
3 tahun kemudian..
Gadis itu bangkit dari tidurnya, menuju cahaya yang menerobos masuk dari jendela kamar. Di tatapnya sang langit yang membiru di antara cahayanya. Kicauan burung yang bertebangan diantaranya. Hari sudah pagi kembali. Ia duduk diam sejenak, mendengar senandung kicau langit. Bibirnya menggoreskan senyuman baru.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang sangat khas menggelegar sampai ke gendang telinga Destiny, “DESTINY!!” Tanpa perlu mencari tahu dari mana dan dari siapa suara itu berasal, dengan jurus ninja-nya ia menghilang dibalik pintu kamar mandi.
--
“Dasar lelet! Lain kali, gue tinggal!” gerutu sahabat cowoknya yang sudah hampir setengah jam menunggu Destiny didepan rumahnya sembari menenteng sepeda butut milik pria itu. Pria itu, dengan rambut yang terjuntai berantakan di kerah dan melewati telinga, sepasang mata gelap dengan pandangan tajam dan ekspresi wajah cuek yang tidak tersenyum.
Destiny melompat ke kursi boncengan sepeda milik Justin, sahabatnya.“Ah berisik! Ayo berangkat!”
Baru beberapa detik mereka meninggalkan rumah kecil berlapis cat berwarna merah jambu itu kemudian terdengar suara memanggil nama Destiny. “Destiny! Sarapan kamu….” belum selesai, Destiny sudah menjawab panggilan itu dari sang ibu.
Destiny menoleh singkat.“Aku sarapan di sekolah aja !Daaaaah, Ibu!” teriaknya sambil mengangkat kedua tangan dan mengayunkannya di udara. Sedangkan sang Ibu yang masih bergeming dipintu pagar hanya dapat menggeleng-geleng melihat kelakuan anak tunggalnya tersebut.
Justin menggeram, “Gue ngga mau kejadian waktu itu ke ulang lagi! Pokoknya, sampe sekolah lo harus sarapan! Bodo!”
Tangan mungil itu melayang menoyor ujung kepala Justin dengan lembut, “Dasar baweeeel!” Destiny cengengesan karna mendengar ocehan sahabatnya yang berinti sama setiap paginya.
Setibanya di sekolah mewah dan megah yang bernama High School Richer Pop, memang namanya agak aneh. Tapi sebagian murid di sekolah itu adalah bule blasteran. Justin dan Destiny termenung didepan gerbang Sekolah. Menatap gerbang yang sudah tertutup rapat. “Paaaaaaaaaak! Paaaaaak satpam! Bukaaa, paaaak!” teriak Destiny dengan suara melengkingnya yang sudah dilatihnya disetiap hari.
Satpam yang baru saja berhasil memejamkan matanya sejenak itu kini terbelalak mendengar suara mematikan tersebut. Ia melongo menatap kedua remaja dengan seragam putih abu-abu sedang berdiri di depan gerbang sekolah, salah satunya sedang menenteng sepeda yang nampak usang itu. “Paak buka, pak! Please..” Gadis itu kini merubah nada bicaranya menjadi super lembut dengan ekspresi melasnya yang luar biasa.
Dengan nada getir, pak tua berseragam itu berkata, “Kalian tau jam berapa ini? kalian sudah telat!”
Telat? Hmm.. Gumam Justin. “Tunggu sebentar, pak!”Justin berbalik, membelakangi satpam yang berada didalam gerbang. Beberapa detik kemudian ia berbalik lagi menghadap pak satpam yang sejak tadi menatapnya sinis, “Lihat pak!” Pemuda pintar itu menjulurkan jam yang tertempel ditangan kirinya. Satpam itu memerhatikan baik-baik jam tangan tersebut. “Udah, pak. Nggak usah banyak mikir! Cepetan buka pintu gerbangnya!”
Dengan ragu-ragu, pak tua yang bertugas menjaga keaman disekolah ini pun membukakan gerbang.Sebelum Destiny mulai menghancurkan rencananya dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya, Justin cepat menariknya ke kursi boncengan sepeda dan mengkayuh sepedanya sekuat tenaga.
Benar dugaan Justin, sesampainya diparkiran sepeda, Destiny bertanya, “Kamu bohongin satpam itu lagi, ya?”Justin berjalan meninggalkan Destiny diparkiran dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. Destiny menyusulnya dan tanpa menyerah ia bertanya lagi, “Kamu pasti muterin jarum jam ditangan kamu ‘kan?” Justin tetap berjalan tanpa merespon pertanyaan dari sahabat kecilnya.
Tapi saat ingat sesuatu, Justin menghentikan langkahnya. Menoleh dan menghampiri Destiny yang berjalan super lambat jauh dibelakangnya. “Oh ya, lo belum sarapan ‘kan? Kalo gitu, kita bolos upacara.” Ia menggenggam tangan kanan sahabatnya dan membawanya ke suatu tempat.
♡
“Hahaha, apa nggak apa-apa nih kita cabut upacara?” Tanya Destiny sambil melahap roti dengan selai Fruit Curd kesukaannya yang dibuat khusus oleh sahabatnya, Justin.
Pertanyaan itu terdengar sungguh polos sehingga Justin terpaksa harus menahan tawa gelinya. “Slow aja, kali. Udah, habisin dulu tuh rotinya! Susah payah gue nyari selai itu kemarin. Gue tau lo bakalan lupa sarapan, jadi gue udah siap siaga bikin roti itu dari rumah.Itu buat lo!” Justin meninggikan nadanya diakhir kalimat.
Destiny tersenyum lebar, lalu mencubit kedua pipi Justin yang menggemaskan itu. “Ihh, makasih Justin!” Justin memasang wajah kecut walau dalam hati ia senang melihat sahabatnya tersenyum seperti itu. “Oh, ya! Semalam aku begadang bikin lirik buat kamu nyanyiin diperpisahan nanti!” Destiny merogoh tas selempangnya yang berwarna ungu berpadu dengan putih ke-abu-abu-an. Ia mengeluarkan selembar kertas dan menaruhnya dipangkuan Justin.
Justin mencermati tulisan-tulisan dikertas tersebut seraya mencari nada yang tepat untuk lirik lagu itu menggunakan gitar akustiknya yang diberikan oleh almarhum ayahnya saat ulang tahunnya yang ke -10. Dibawah pohon rindang ini -tepatnya dihalaman belakang sekolah- Justin mencoba menyanyikan lirik-lirik lagu ini walaupun terkadang nadanya selalu meleset.
I can't wait to fall in love with you
You can't wait to fall in love with me
This just can't be summer love, you'll see
This just can't be summer love (L-O-V-E)
'Cause I can't wait to fall in love with you
You can't wait to fall in love with me
This just can't be summer love, you'll see
This just can't be summer love (L-O-V-E)
The summer's over for the both of us
But that doesn't mean we should give up on love
You're the one I've been thinking of
And I knew the day I met you you'd be the one
Destiny tersenyum. Mendengar suara serak-serak basah Justin yang sedang bernyanyi lagu dengan tema cinta. Justin yang tak sadarpun terhanyut sendiri dalam lagu itu, walau sebenarnya dulu Justin pernah menolak mentah-mentah saat disuruh menyanyikan lagu bertema sama dari Destiny. Karna menurutnya, lagu yang berhubungan dengan CINTA itu menggelikan.
Pria berdarah Canada-Indonesia-Amerika itu kini menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan, “kenapa?” tanyanya dengan nada sinis khasnya.Destiny menggeleng-geleng sambil tersenyum kecil.Wajah Justin kini bersemu merah sekali.Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi sekali menandakan upacar selesai.Destiny mulai merapihkan kotak bekal makanan milik Justin dan kertas-kertas miliknya yang berserakan. Sedangkan Justin buru-buru memasukkan gitarnya ke tas gitar dan menggendongnya dipunggung. Mereka berdua berlari-lari kecil menuju kelas dengan harapan tak tertangkap guru.
♡
Justin dan Destiny melangkah menuju kelasnya. Destiny melangkah dengan anggunnya saat melewati kerumunan murid yang mengerubungi papan pengumuman. Justin sama sekali tak tertarik melihat pengumuman itu. Toh, tanpa melihat pengumuman saja ia dapat mendengar suara-suara dari orang-orang yang membicarakan pengumuman ini.
Sepanjang jalan yang dilewati mereka berdua, jejak aroma parfum bermerek tumplek blek jadi satu. Kenzo, Paris Hilton, Moschino, Bvlgari, Benetton, Escada, semuanya ada. Tinggal pilih. Yang pasti, satu parfum nggak ada yang harganya goceng tiga. Baru selangkah memasuki kelas, terdengar suara riuh, heboh. Ada yang sibuk dengan handphone model terbarunya, ada yang asyik ngobrol dengan gank-nya –membicarakan produk merek luar negri terbaru- ada juga yang mengganjal perut dengan jajanan dikantin sekolah yang harganya selangit.
“Dateng ya ke birthday party gue!” Satu kelas heboh dengan birthday party yang dirayakan oleh gadis populer keturunan Amerika yang bernama Natalie. Pandangan Natalie terpaku kepada Justin dan Destiny yang memasuki ruang kelas bersama-sama. Rasa cemburu mulai merasukinya. “Justiinnnn!!!” teriakan melengking nan cempreng mengejutkan Justin dan Destiny. Beberapa saat kemudian, gadis berseragam ketat dengan rok sepan diatas dengkul berlari centil mendekati Justin. Justin melongos sejenak, seakan tak mengharapkan kehadiran gadis itu.
“Mmm, Justin..dateng ya ke birthday party aku!” ajaknya dengan nada super duper centil seraya menyodorkan surat undangan. Bodo amat! Emang gue pikirin? Bisik Justin dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia malah asik bercengkrama bersama sahabatnya, Destiny. “Ehm!” Natalie berdeham, dehaman yang disengaja untuk menarik perhatian Justin.Justin hanya menoleh sekilas lalu kembali kepada kegiatannya tersebut.
Dengan perasaan yang hancur, Natalie kembali kekeramaian. Tertawa-tawa bersama geng populernya walaupun sebenarnya ia masih kesal dengan perlakuan kasar Justin tadi. Walaupun kelas itu ramai dan hebohnya mengalahkan pasar, tetap saja perhatiannya selalu tertuju kepada Justin yang sedang asik sendiri dengan sahabatnya, Destiny.Ia tak berhenti mengutuk gadis polos itu.
Pada saat jam pelajaran olahraga, semua murid kelas 12.A bersiap-siap mengganti seragamnya dengan kaos olahraganya masing-masing. “Kita ketemu dilapangan ya!” Justin tersenyum manis sambil berlari ke lapangan, sedangkan Destiny dan teman-teman ceweknya baru akan mengganti seragamnya dengan kaos olahraga diruang khusus.
Seseorang mengagetkan Destiny saat ia baru saja selesai memakai kaos olahraganya, “Nih!” dengan juteknya, gadis berambut coklat kekuningan itu memberi dua buah undangan kepada Destiny. Destiny menatap kedua undangan itu penuh heran. “Satu buat lo, satu lagi buat Justin.” Tambahnya.
“Serius?! Makasih, ya!” Destiny tersenyum lebar menerima undangan ini. Karna memang tak semua murid diundang ke pesta besar-besaran ini, hanya orang yang mempunyai nama disekolah ini saja yang dapat menghadiri pesta tersebut. Destiny akan merasa sangat terhormat. Saat ia ingin keluar dari ruangan ini, Natalie merenggut tangan kanannya. Spontan, Destiny menoleh.
“Tapi inget! Lo harus dateng sama Justin! Pokoknya lo harus dateng!” paksanya dengan nada mengancam. Tapi Destiny sama sekali tak merasa kalau ia diancam.
“Oke!”
♡
Kriiiingg.. Kriiingg..
Bel berbunyi dua kali, itu pertanda sekolah telah berakhir. Semua murid berdesakan untuk mencapai pintu gerbang, begitupun dengan Justin dan Destiny. Parkiran yang begitu sesak membuat tas selempang Destiny terjatuh dan mengeluarkan sebagian isi dari tas itu. “Apaan tuh?” Tanya Justin saat melihat sesuatu berbentuk persegi yang cukup tebal bercover balon-balon warna-warni yang lucu dan foto gadis yang tak asing lagi.
Destiny mengambilnya dengan cepat sebelum undangan itu terinjak-injak. “Oh..ini undangan yang tadi dikasih Natalie buat aku, kamu juga dikasih kok!”
Justin menenteng sepedanya keluar parkiran menuju gerbang sekolah, “Buat gue? Ogah.” Tolaknya mentah-mentah.
Destiny memasang wajah cemberut yang membuatnya tampak menggemaskan, “Kok ogah?” tanyanya singkat tanpa direspon oleh sahabatnya.
“Ayo, naik!” perintah Justin yang sudah siap mengkayuh sepeda usangnya itu.
Gadis berambut kecoklatan dengan warna kulit putih pucat itu kini menggumam tak jelas, tak dihiraukan oleh Justin, “Ayolah, Justin.. Please! Aku pengen ikut ke pesta itu! Ini kesempatan langka, Justin! Kapan lagi aku mendapatkan kesempatan langkah seperti ini? Hanya orang-orang kaya sepertimu yang diundang ke pesta besar itu. Murid beasiswa sepertiku? Itu akan menjadi luar biasa!” Destiny merengek-rengek memohon supaya Justin ikut ke pesta ulang tahun itu. Tapi Justin tetap keras kepala, ia menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Justin mendengus kesal. Kupingnya panas mendengar ocehan Destiny yang terus-terusan memaksanya untuk hadir dipesta itu, “Dia itu gak bener-bener niat buat ngundang lo, Des! Gue yakin dia punya niat buruk!”
Destiny menggigit bibir bawahnya sambil menunduk, ia juga merenggangkan pelukannya kepada Justin. “Kamu tega ya..” terdengar sesenggukan dari gadis berparas manis itu.
Justin memperlambat sepedanya dan berhenti dipinggir jalan.“Lo inget gak? Waktu itu, dia ngunciin lo dikamar mandi sampe lo kedinginan? Lo inget?! Dia juga pernah ngajak lo ke diskotik sebagai perayaan kalo lo resmi jadi anggota di geng dia, dan disana dia maksa lo minum sampe lo mabok berat! Untung gue ada disana, kalo ngga? Trus sekarang lo masih mau percaya sama dia?!” Tanya Justin berusaha meyakinkan Destiny kalau Natalie itu bukan orang baik.
Destiny menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menahan tangis. Justin yang awalnya berekspresi keras, berubah seketika. Ia memeluk sahabatnya dengan penuh kasih sayang dan mencium pucuk kepalanya. Setelah beberapa menit mereka berdiam ditempat itu, akhirnya Justin kembali mengkayuh sepedanya menuju rumah.
Sesampainya didepan sebuah rumah mungil, Destiny turun dari sepeda dan langsung berlari memasuki rumah itu.Justin hanya dapat melihat tingkah sahabatnya yang berubah itu, entah sejak kapan.Dengan wajah kusut, Justin menenteng sepeda ke rumahnya yang berada tepat disamping rumah Destiny.
“Kamu kenapa?” Tanya kak Jeanny menyambut kedatangan adik satu-satunya itu.Justin hanya menggeleng pelan menuju kamarnya. “Kamu berantem sama Destiny?” Justin terdiam didepan pintu kamarnya. Ingin sekali rasanya berteriak saat mendengar nama gadis itu. Rasanya sedih melihat ekspresi Destiny saat itu, ia benar-benar lemah kalau melihat Destiny menangis.
“Tolong, jangan ganggu aku.” Perintah Justin, lalu membuka pintu kamarnya dengan kasar.
♡
Malam sudah tiba. Bintang-bintang berpencar menghiasi langit yang gelap ini. Setelah selesai makan malam, Destiny pergi ke kamarnya, duduk dijendela menatap bintang-bintang. Itu ia lakukan saat ia merasa kesepian atau sedang sedih. Teringat kembali oleh undangan itu, ia bangkit dan mengambil kedua benda persegi yang ia letakkan diatas meja belajarnya. Ia membaca-baca isi undangan tersebut, Malam ini.. Pesta diadakan malam ini.. jam 8.. Gumamnya. Hatinya seperti disayat-sayat saat mengetahui pesta itu berlangsung malam ini, pukul 8, dan itu berarti 1 setengah jam lagi.ia berfikir, mungkin teman-temannya yang diundang sedang sibuk memilih dress atau gaun untuk dipakai nanti malam. Destiny membatin, Andaikan Justin mau menuruti permintaanku yang ini..
I can't wait to fall in love with you
You can't wait to fall in love with me
This just can't be summer love, you'll see
This just can't be summer love (L-O-V-E)
'Cause I can't wait to fall in love with you
You can't wait to fall in love with me
This just can't be summer love, you'll see
This just can't be summer love (L-O-V-E)
The summer's over for the both of us
But that doesn't mean we should give up on love
You're the one I've been thinking of
And I knew the day I met you you'd be the one
Tiba-tiba terdengar suara petikan gitar dan seorang pria bernyanyi, membuat Destiny sadar dari lamunannya. “Lagu itu?!” Dengan langkah spontan, Destiny keluar dari kamarnya dan menuruni tangga, langkahnya yang terlalu cepat membuatnya hampir terjatuh, tapi untungnya ia tidak benar-benar terjatuh.
“Justin…” lirihnya saat melihat Justin dihalaman depan rumahnya yang sedang bersandar dibawah pohon sambil bernyanyi dengan gitarnya.
“Hai..”Justin tersenyum, senyuman yang hanya ditujukan kepada sahabatnya.
Destiny tersenyum lebar. Ia sempat mengira kalau Justin marah karna tingkahnya yang kekanak-kanakkan dan tidak akan datang kerumahnya malam ini. “Sejak kapan kamu disini?” Destiny mengambil posisi duduk tepat berhadapan dengan Justin, ia duduk sambil memeluk kakinya dan memangku dagu diatas lutut.
“Sejak tadi sore. Gue nunggu lo disini. Tapi lo gak keluar-keluar. Biasanya kan kita selalu disini setiap sore sampe malem buat ngeliat matahari terbenam kayak biasanya.” Jelas Justin. Penjelasannya betul-betul membuat Destiny bersalah dan mengutuk dirinya sendiri.
“Maaf, ya..”
“Ah, nggak apa-apa. Oh iya, emangnya pesta ulang tahun Natalie itu kapan?” Tanya Justin tiba-tiba.
Destiny terperanjat mendengar pertanyaan Justin, saat itu juga ia memupuk harapan kalau Justin akan mengajaknya ke pesta tersebut. “malam ini, jam 8..” jawabnya gugup.
Justin melongo, ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 06:50. “Hah? Ya udah, lo buruan ganti baju, dandan yang cantik. Gue siap-siap dulu!”Justin bangkit dari duduknya dan menggandeng gitarnya keluar rumah Destiny.
Destiny bergeming ditempat. Ia tak percaya Justin menerima ajakannya. Semangatnya kini melambung. Rasanya ingin terbang saja. Tanpa berlama-lama lagi, Destiny melesat kedalam rumahnya. Ia bersenandung manis didepan kaca riasnya, memilih-milih dress yang menurutnya cantik. Tapi ia tak bisa melakukan itu sendiri, ia meminta bantuan ibunya untuk memilihkannya dress yang terbaik.
Sedangkan dirumah sebelah, Justin sedang tersenyum lebar di depan kaca. Giginya yang putih dan kecil-kecil berderet rapi. Sambil menyiulkan lagu ciptaannya bersama Destiny, jari-jari lincah Justin menyisir rambut cepak-nya yang berwarna coklat tua keemasan. Sambil terus bersiul-siul sampai bibirnya monyong, jemari mungilnya meraup hair gel dari meja, menyapukan ke rambutnya, dan cling! Rambut cepak trendinya langsung berdiri alias rancung-rancung.
30 menit kemudian...
“DESTINY!!” teriak seorang pria dari luar rumah Destiny dengan suara beratnya.
Destiny cepat-cepat keluar rumah dengan balutan gaun diatas lutut berwarna hijau muda. Saat menyadari waarnanya, dalam pikirannya sudah mulai muncul pikiran buruk. Dia dapat membayangkan seperti apa Justin akan menyelanya nanti: dia dibilang mirip lemper atau.. kayak nagasari? Dua-duanya udah kedengeran nggak lucu sih, apalagi kalo lemper slash nagasari itu diasosiasikan kedirinya sendiri.
Sambil menghela nafas panjang, Destiny siap-siap mental mendengar celaan apapun yang keluar dari bibir Justin. Sedetik.. dua detik.. tiga..? Oke, mungkin Justin nggak senyebelin yang dia duga sebelumnya. Jadi, dia bukan jenis orang yang punya amunisi ‘racun’ di langit-langit mulutnya –yep, kayak ular. Sebelum menghina, berarti dia mikir dulu.
Destiny menatap sahabatnya itu dan agak terheran-heran mendapati kenyataan bahwa cowok itu masih nggak bereaksi apapun. Hello.. lemper? Nagasari? Udah siap nih, pikir Destiny. Cowok itu malah kayak kesambit setan, terbengong-bengong ditempat. Sekujur tubuhnya mulai merasa tidak nyaman, ternyata gaun ini lebih jelek daripada yang ia duga.
Justin terpaku melihat gadis bak putri raja itu. Ia hampir tak mengenali siapa gadis yang sedang berdiri dihadapannya itu. Justin bisa melihatnya dengan lebih jelas, sepasang alis yang melengkung dengan sempurna, matanya yang berwarna coklat yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang super lentik, dan wajah polos yang pucat dengan make-up super natural.
“Emang segitu jeleknya?” Tanya Destiny sambil meneliti penampilannya. Justin menggeleng cepat, wajahnya memerah, tapi ia berhasil menutupinya dari Destiny. “Sepeda kamu mana?”
“Sepeda? Ke pesta naik sepeda? Emang lo ga malu ke pesta naik sepeda? Nih, pake motor aja.” Ucapnya seraya memasang helm. Sebenarnya Justin tidak suka bepergian dengan motor, tapi hanya saja ia tidak ingin Destiny disambut dengan sorakan-sorakan kecil memalukan setibanya disana. Itu akan membuatnya sedih. Jadi, ia terpaksa menggunakan motor ninjanya untuk pergi ke pesta. Destiny mengambil posisi duduk diatas motor besar itu. “Pegangan ya!” Destiny memeluk Justin erat dan motor itupun melaju cepat.
♡
“Aku nggak yakin sama penampilan aku..” ucap Destiny dengan polosnya. Justin tersenyum, batinnya berkata.. Lo udah cantik kok, cantik banget.
Mereka berdua memasuki wilayah pesta yang berada disekitar kolam renang dirumah Natalie. Natalie memang orang yang sangat kaya. Itu masuk akal. “Justin!!” Teriak seorang gadis dengan gaunnya yang cantik berwarna putih. Gadis itu berlari menghampiri Justin dan menggandengnya, tapi Justin sempat menepis tangan nakal itu, “Umm, makasih ya udah dateng..”
Justin berjalan menjauhi gadis yang menurutnya pengganggu itu, gadis itupun mengambil posisi dipinggir kolam dan mengumumkan kalau pesta sudah dapat dimulai. Musik-musik DJ mulai terdengar, beberapa orang yang diundang mulai mencari pasangan dansa. Natalie menghampiri teman-teman gengnya, ntah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka tampak serius.
“Umm, kuenya enak ya!” ujar Destiny yang sangat menikmati cake kismis yang sudah disediakan diatas meja. Tiba-tiba Anna, anggota geng popular sekaligus sahabatnya Natalie menghampiri Destiny. Anna juga seorang putri dari selebriti terkenal. “Destiny, aku pengen minta tolong sama kamu, boleh?” Destiny mengangguk, canggung. Justin yang terdiam ditempat hanya bisa melihat sahabatnya yang semakin jauh dari pandangannya tapi tetap terlihat.
“Hai, Justin!” sapa suara seorang gadis yang sudah tak asing olehnya. Setelah mengetahui siapa orangnya, Justin pergi begitu saja, tapi gadis itu lebih dulu menahan tangan Justin.
“Apaan sih lo?!”
BYUARR!
Suara mengejutkan itu terdengar tak jauh, semua pasang mata memandang setiap sudut kolam renang. Rambut panjang berwarna gelap itu muncul dipermukaan air. Insting Justin langsung mengatakan “Destiny?! Dia ‘kan nggak bisa berenang!” Tanpa menghiraukan gadis centil yang bernama Natalie, Justin melompat ke kolam dan berenang menghampiri Destiny yang sudah tak terlihat. Justin menyelam, membuka matanya didalam air mencari-cari sosok sahabatnya. Tangannya meraba-raba air. 3 detik kemudian ia merasa menyentuh sesuatu, seperti tangan. Ia menarik tangan itu dan yakin bahwa itu adalah tangan Destiny! “Dapat!” batinnya. Justin memeluk Destiny dan membawanya ke pinggir kolam. Semua orang yang berada ditempat kejadian hanya bisa menyaksikan, apalagi Natalie yang cemburu berat saat melihat Justin rela melompat demi menyelamatkan sahabatnya, Destiny.
Justin membaringkan Destiny yang sudah tak sadarkan dipinggir kolam, Gimana nih.. gue harus ngapain.. Arghh! Justin membantin. Tanpa perlu berpikir lebih lama lagi, Justin membuka mulut Destiny dan menutup hidung gadis itu lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Destiny yang memucat. Bibir mereka bersatu. Dengan wajah memerah Justin terus meniupkan oksigen kedalam mulut gadis bermata gelap itu. Semua yang berada disana bahkan tak percaya melihat adegan itu. Momen-momen tersebut berlangsung singkat karna Destiny langsung memuncratkan air-air yang sempat ia telan. Spontan, Justin memeluk sahabat kecilnya, wajahnya yang panik berubah, kini ia tersenyum lega.
“Lo semua gak punya otak ya! Bisanya cuman ngeliatin! Bukannya nolongin! Dasar tolol lo semua!” ketus Justin seketus-ketusnya. Ia menggendong Destiny yang tampak lemas dipunggungnya. Wajahnya sangat pucat, seluruh tubuhnya dingin, dan penglihatannya kabur. Mereka pun keluar dari rumah Natalie tanpa pamit. Ntah apa yang terjadi dipesta itu selanjutnya.
Begitu mereka keluar, mulut mungil Natalie komat-kamit, menyumpah-nyumpah, “Son of a bitch! Sialan lo berdua!” Natalie menyeringai bête.
Justin ataupun Destiny sama sekali tak mendengar kalimat kasar yang terlontar dari mulut Natalie. Justin menurunkan Destiny diatas motornya, memasangkan jasnya melingkar di leher Destiny. “Dingin ya? Maafin gue ya..”
Destiny tersenyum hangat melihat ekspresi panik Justin walaupun penglihatannya samar-samar. Sungguh betapa beruntungnya Destiny memiliki sesosok sahabat seperti Justin, mungkin dia adalah gadis yang paling beruntung malam ini.
♡
Jam berdenting sembilan kali. Pagi ini, Destiny terbangun dengan kepala berat, kusut masai, dan burai. Untuk sekedar duduk saja butuh perjuangan, rasanya kepala itu ingin pecah. Apa yang terjadi semalam padaku? Tanya gadis kecil itu pada dirinya sendiri.
“Selamat pagi..” seseorang menyerukan salam di ambang pintu kamar. Seulas senyum menghias wajah yang baru saja memasuki ruangan ini. “Gimana keadaan lo?”
“Menurut kamu? Hahaha..” Destiny tertawa kecil.
“Yeee, malah bercanda!”
Destiny menghela nafas hati-hati, “Oh ya, maafin aku ya.. Harusnya aku dengerin kata-kata kamu kemarin..” sesalnya dengan nada agak bergetar.
Melihat ekspresi Destiny yang tidak biasanya, Justin mempunyai ide nakal untuk mengerjai sahabat kecilnya, “Gue marah sama lo.” Ketusnya.
“Hah?” Destiny yang berbaring lemas diatas kasurnya langsung melongo tak percaya. Ia merapatkan tangannya jadi satu sembah, katanya kecil, “maafin aku dong! Please..”
Lucu kelihatan wajahnya ketika menyembah begitu, membuatnya teringat dengan adegan seorang badut dipentas menyembah-nyembah pacarnya sedemikian. Iba melihat wajahnya yang seperti anak kecemasan itu. Karna tak dapat menahan tawa lebih lama lagi, akhirnya Justin pun tertawa geli. Wajah Destiny itu kian berubah kesal. Tapi dalam hatinya, ia juga senang melihat Justin tertawa, itu artinya dia nggak bener-bener marah. Tiba-tiba saja suasana mendadak hening. “Oh, iya! Kamu kok nggak sekolah?” Tanya Destiny mengingatkan. Padahal ia juga tidak sekolah.
Justin menggeleng pelan, ia tersenyum lalu berkata, “Gue mau nemenin lo disini.”
Mendengar itu, Destiny tertawa sejadi-jadinya. Ntah apa yang lucu. Tapi sungguh, itu kata-kata yang aneh jika yang penyebutnya adalah Justin. Tiba-tiba terdengar suara ponsel bordering, semakin lama semakin keras. Tawa itu perlahan mereda. Justin merogoh saku diseragam sekolahnya yang ia pakai saat ini lalu mengeluarkan benda berbentuk persegi. KLIK.
“Halo?”
“Halo Justin?! Kamu kemana?! Kakak ditelfon pihak sekolah, katanya kamu nggak masuk sekolah!” celetuk seorang gadis didalam ponsel.
“A-aku lagi di ru…” Belum sempat Justin menyelesaikan alasannya, gadis itu mulai menyeletuk lagi.
“Bukannya tadi kamu dari rumah pake seragam sekolah ya?! Apa jangan-jangan kamu cabut ya?! Ngerokok ya?! Awas kamu ya sampe berani ngelakuin itu! Jangan mentang-mentang mama sedang berada diluar negri, kamu seenaknya!” erang gadis yang bernama Jeanny itu.
“A-aku…” Baru satu kata berhasil ia sebutkan, ternyata panggilan sudah terputus lebih dulu. Itu membuatnya geram. Wajahnya merah padam. Destiny tidak tahu apa yang harus ia lakukan lebih dulu, tertawa atau bertanya apa yang terjadi. Kalau ponsel harganya murah, Justin sudah siap lahir-batin membanting ponselnya ke lantai. Eits, sebelumnya digigit-gigit dulu penuh dendam. Diremas sampai bunyi ‘Krek!’. Banting! Injak-injak sambil loncat-loncat ditambah teriak-teriak histeris. Risikonya paling dikira orang gila.
Justin memasukkan ponsel miliknya disaku celana abu-abunya. Kalau kak Jeanny lagi ngomel-ngomel begini, lebih baik dibiarkan dulu sampai dingin. “Tadi itu siapa sih?” selidik Destiny.
“Kak Jean. Pihak sekolah nelfon dia dan bilang kalo gue nggak ada di sekolah. Sekarang kak Jean lagi marah banget sama gue.” Justin menghela nafas berat diujung pembicaraan.
Merasa bersalah, akhirrnya Destiny lah yang harus berujung meminta maaf kepada Justin, “Maaf deh.. aku bakal bilang ke kak Jean, aku bakal bantuin kamu..” Destiny tersenyum, canggung.
“Eh, bodoh! Ini bukan salah lo, kali..” Justin cengengesan memandang wajah sahabatnya yang memucat itu. Tapi kini, senyum mengembang lebar hingga terlihat gigi-gigi mungil diwajah sahabat bidadarinya tersebut.
Hening. Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara decitan kursi yang bergesekan dengan lantai saat Justin menyeret kursi tersebut ketepi ranjang dan duduk menghadap Destiny yang sejak tadi terbaring. “Maaf, ya. Gue nggak bawa apa-apa.” Lagi-lagi kata ‘maaf’ itu terucap. Destiny mengangguk lembut seperti ‘It’s okay!’ .
Mendadak, angin selir masuk dari jendela kamar ini hingga terasa pada Destiny yang –padahal- terselimuti oleh kain halus super tebal. Justin menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Mereka berdua kini menatap jendela itu. Keduanya kini seperti tersihir, terpaku oleh memori kenangan yang tersisa dijendela itu. Keduanya hanyut dalam hening.
Justin teringat. Dulu saat masih kecil, selain suka berkumpul diayunan halaman depan rumah, mereka juga terkadang bermain dikamar ini jika cuaca diluar tidak mendukung. Kalau hujan tiba, mereka selalu berebut duduk dijendela lalu menyodorkan tangan keluar jendela dan merasakan air hujan yang mengguyur tangan mereka. Kadang jika sedang usil, Justin suka mencipratkan air hujan yang membasahi tangannya itu ke wajah Destiny hingga sampai pernah terjadi insiden ngambek total selama 24 jam. Tapi akhirnya, Justin juga yang harus memohon maaf kepada Destiny. Jika cara itu tidak berhasil, Justin tidak akan langsung menyerah. Sehubung Destiny sangat menyukai benda dingin yang disebut Es Krim, Justin tak akan berpikir 2 kali untuk membelikannya beberapa Es Krim asalkan Destiny mau memaafkannya. Justin akan merengek-rengek kepada Ibunya yang single parent dan juga pebisnis hebat untuk membelikannya beberapa tangkai es krim –maklum, orang kaya.
“Kenapa diem? Kamu pasti kangen ya sama kita yang suka main di jendela itu dulu, ya ‘kan?” tebak Destiny sambil menunjuk jendela yang berada hanya beberapa langkah dari ranjangnya. Tebakan yang tepat pada sasaran, tapi malu untuk mengakuinya.
Justin berdeham mencoba menyembunyikan gengsinya yang tinggi itu, “Ehm, gue tutup ya jendelanya?” tawarnya. Destiny mengangguk mempersilahkan.
♡
“Hah? Murid transferan? Gila kali, tuh! Sekolah tinggal beberapa bulan lagi, masih ada aja yang namanya murid transferan!” celetuk Justin dengan wajah tak senang mendengar kabar burung. Ia berhenti memetik senar gitarnya dan mulai membuat imagine besok pagi. Pasti satu sekolah akan riuh menyambut kedatangan murid transferan asli dari Amerika itu. Dengar-dengar, dia juga seorang model disana.
“Kamu kok sewot gitu, sih.” Balas Destiny dengan nada tak kalah sinis. Ia menghampiri Justin yang bersandar dibawah pohon sambil membawa dua gelas minuman berwarna. “Nih, minum dulu!” Ia menyodorkan salah satu gelas yang berada dikedua tangannya. Justin meraihnya dengan wajah musam.
“Lo nggak sakit lagi?” Tanyanya jutek. Tapi ditelinga Destiny tetap terdengar lembut. Destiny menggeleng seraya menggores senyum diwajahnya, ia duduk dikursi ayunan dan menatap bintang-bintang yang lebih banyak dari malam kemarin. Justin menangkap pandangan Destiny, ia mendongakkan kepala melihat langit-langit kelam. Mencari tahu apa yang diperhatikan oleh sahabatnya. “Lo suka bintang yang mana?”
Destiny tersentak mendengar pertanyaan itu. Tangan kanannya mulai merespon pertanyaan Justin dengan menunjuk salah satu bintang yang paling terang menurutnya, “Yang itu.” Jawabnya antusias.
Justin tersenyum dalam hati, “Hmm, lo tau nggak? Itu ayah gue.” Destiny melayangkan pandangannya kepada Justin seakan meminta penjelasan yang lebih. Sebelum ia melontarkan pertanyaan, Justin sudah langsung menjawab pertanyaan yang belum sempat ditanyakan oleh Destiny. “Kata Ibu, kalau orang baik meninggal maka dia akan menjadi bintang di langit. Semakin baik dia, maka bintangnya semakin besar.” Ujarnya dengan ekspresi yang belum pernah ditemui Destiny. “Karna itulah, bintang yang paling terang itu pasti ayah. Dia baik banget. Besok, gue juga pengen jadi bintang yang paling besar, Des..” tambahnya.
“Begitukah? Hmm, aku yakin kamu bisa jadi bintang yang paling besar. Kamu kan anak baik, Justin!” jawab Destiny sambil cekikikan karna pembicaraan ini mulai terdengar dramatis. Wajah Justin memerah, tanpa sadar ia telah mencurahkan itu semua. “kalau begitu, kamu harus janji sama aku untuk ngeliat aku setiap waktu ya.. karena aku juga bakalan jadi bintang yang paling besar di langit suatu saat nanti, dan tentunya lebih besar darimu! Hahaha..” tambahnya dengan tawa lepas. Ia menyodorkan jari kelingkingnya, berusaha untuk membuat janji dengan Justin, sahabatnya.
“Iya, gue janji sama lo.” Justin mengkaitkan kelingkingnya dengan kelingking mungil milik Destiny sambil menatap gadis berambut kecoklatan itu dalam-dalam meyakinkannya bahwa ia tidak akan berbohong.
Sekarangpun lo udah menjadi bintang dihati gue, Destiny..
♡
Terbangun oleh sinar mentari yang masuk lewat jendela. Hangat.. meski terasa silau. Mata gadis berpijama pink berpolkadot itu mengerjap- erjap untuk menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Rasanya memang malas sekali beranjak dari ranjangnya yang empuk dan nyaman. Ruangan yang dingin memaksanya untuk tetap tinggal. Ia menggeliat diatas kasurnya mencoba mencari posisi yang lebih nyaman untuk tidur pendek 5 menit. Tapi saat ingat sesuatu, matanya terbelalak. Jantungnya berdebar-debar. “Cowok itu.. cowo transferan dari Amerika. Aku nggak mungkin akan ngelewatin ini!”
Keluarlah jurus ninjanya yang selalu ia gunakan disaat waktu genting. Tunggu dulu, genting? Okey, bukan genting. Maksudnya, terdesak. Hampir setengah jam ia belum keluar, di menit ke-23 ia keluar dari kamar mandi dengan harum sabun yang dengan cepat menyeruak seisi kamar. Lalu meraih seragam putih abu-abu yang tergantung dipintu lemari, bajunya agak ketat karna dipakai sejak kelas 1. Dan roknya yang jatuh tepat dilutut tidak memperlihatkan kesan terlalu seksi. Ia mengambil alat yang disebut hair dryer lalu mengarahkannya ke rambut panjangnya yang basah. Setelah menurutnya cukup, kini melemparkan pandangan ke lipgloss berwarna pink natural yang tersusun rapih dimeja rias, memang ia sangat jarang menyentuh kosmetik-kosmetik itu. Destiny meraih lipgloss itu dan memulaskannya di bibirnya yang indah. Ia sangat hati-hati memulaskan lipgloss itu. Cling! Sempurna.
“Destiny?” pekik Ibu yang terheran-heran melihat penampilan putri tunggalnya yang seketika berubah agak feminin. Ibunya menggaruk-garuk kepalanya yang benar-benar tidak gatal, ia sedang memikirkan pertanyaan yang tepat, hanya saja ia takut salah berkata dan membuat anaknya salah paham, Destiny itu ‘kan gadis yang sangat sensitif. Tapi sebelum Ibunya mengeluarkan sebongkah pertanyaan, anak itu mulai melesat keluar setelah mengambil roti selai diatas meja makan.
Diluar ternyata belum ada Justin, tidak biasanya. Destiny mencermati jarum jam ditangannya, oh my god, ini masih pukul 6 lewat. Biasanya, jam segini pasti Justin sedang sarapan. Dengan sabarnya, Destiny menunggu Justin di ayunan biasa mereka berkumpul. 10 menit kemudian, Justin datang menenteng sepedanya dengan wajah masih mengantuk. Tapi ia begitu terbelalak saat melihat Destiny sudah siap, bahkan tampak sangat segar sekali pagi ini. Penampilannya pun tampak agak berbeda. “Tumben..” celetuknya.
“Tumben apanya?”
“Sejak kapan lo suka dandan kalo mau ke sekolah?” Tanya Justin dengan nada sinis.
“Emangnya nggak boleh ya? Aku ‘kan cewek. Wajar dong?” Jawabnya tak kalah sinis.
Akhirnya yang harus mengalah perdebatan itu adalah Justin. Kalau Justin tidak melakukan itu, mungkin ini akan berlangsung lama dan akan lebih parah.
♡
“Eh, kayaknya sekolah masih sepi deh, mau mampir dulu nggak ke supermarket?” bisik Destiny.
Justin memperlambat kayuhan sepedanya, “mau ngapain?”
“Snack cocobi aku habis. Kamu tau sendiri ‘kan aku tuh-----“
Dengan cepat, Justin memotong kalimat Destiny. “Yaaa bawel! Tapi disini mana ada supermarket yang jualan cocobi? Langka banget. Seharusnya kamu bilang dari awal, supermarket di kompleks kita kan ada yang jual cocobi.”
Destiny kecewa. Tapi ia ingat sesuatu, dulu juga pas SMP ia pernah mengalami hal yang sama seperti ini dengan Justin. Tapi akhirnya ia menemukan cocobi di supermarket dekat sini, ia agak lupa dimana letaknya. “Eh, kamu inget gak? Waktu SMP aku nangis gara-gara cocobi-ku kamu makan. Terus kamu janji bakalan beliin lagi, walaupun kamu taahu disekitar sini jarang banget yang jual cocobi. Tapi akhirnya kamu nemu ‘kan? Itu beli dimana?”
“Oh itu! Gue inget, ditikungan depan, sebelum tanjakan!” Setelah ingat, Justin mengkayuh sepedanya dengan cepat sekuat tenaga, berhubung Destiny juga semakin berat karna sering memakan berbagai jenis makanan ringan dan es krim. Sesampainya di supermarket yang dimaksud, Justin mulai berpikir lagi. Ia ragu, apakah benar ini supermarket yang dulu? Kalau memang benar, apakah supermarket ini masih menyediakan cocobi? Kalau tidak, Destiny akan mengamuk. “Sana, masuk! Gue tunggu sini. Sekalian ya es krim satu buat gue!”
“Oke, bos!” teriaknya lantang.
Destiny dengan semangat memasuki supermarket mini itu. Ia memutari seisi supermarket itu dengan sabar, tapi setelah kurang lebih 5 menit ia belum juga melihat kotak berukuran sedang berwarna hijau tersebut. Akhirnya dengan perasaan agak kecewa, ia menemui tukang kasir. “mba, cocobi-nya.. udah habisnya?” tanyanya dengan hati-hati.
“Baru aja diborong sama mas tadi.” Jawab wanita itu seraya menunjuk ke pintu keluar dengan ibu jarinya.
JLEB! Rasanya seperti ditimpuk batu besar saat mendengar pernyataan itu. Setelah semangat-semangat memutari ruangan ini dengan harapan akan menemukan cocobi ternyata sudah diborong habis-habisan. “Umm, mana orangnya?” Tanyanya lagi dengan harapan yang tersisa. Berharap bertemu orang itu dan akan memberinya sedikit cocobi yang diborong. Ngarep! Ucapnya dalam-dalam.
“Disitu.” Wanita dewasa itu menunjuk parkiran, “Baru aja keluar.”
CONTINUE..
